MEMBUAT KALENDER PENDIDIKAN, PROTA, PROMES PEMETAAN, STRUKTUR KURIKULUM, SILABUS, JADWAL PELAJARAN
DAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
Di Tujukan Untuk
Untuk Memenuhi tugas Mata Kuliah
PERENCANAAN PEMBELAJARAN
H. Endang Saputra, M.Pd
SEMESTER I
Di Susun Oleh :
RINALDI HARDIANSAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
STAI BUNGA BANGSA CIREBON
PROGRAM STRATA SATU (S1)
Kampus : Jl.Widasari III Tuparev Cirebon Telp./Fax.(0231) 246215 Email : staibbc.cirebon@gmail.com
“ MENGENAL AKHLAK MAHMUDAH DAN MADZMUMAH ”
A. Pengertian Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlak walaupun terambil dari bahasa Arab (yang biasa berartikan tabiat, perangai kebiasaan, bahkan agama), namun kata seperti itu tidak ditemukan dalam Al-Quran. Yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Qalam ayat 4. Ayat tersebut dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai Rasul,
“ Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung”.
(QS Al-Qalam [68]: 4).
Sedangkan menurut istilah, para pakar dalam bidang ini mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut;
a. Ibnu Misawaih
حَالٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لَهَا اِلٰى اَفْعَالِهَا مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلَا رُوِيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa meerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b. Imam Al-Gazali
عِبَارَةٌعَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ رَاسِخَةٌ عَنْهَا تَصْدُرُ الْافْعَالُ بِسُهُوْلةٍ وَيُسْرِ مِنْ غَيْرِحَاجَةٍ اِلٰى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
c. Ibrahim Anis
حَالٌ لِلنَّفْسِ رَاسِخَةٌ تَصْدُرُ عَنْهَا الْاَفْعَالُ مِنْ خَيْرٍ اَوْ شَرٍّ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلٰى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. (1)[1]
Akhlak Mahmudah
1. Pengertian Menurut Al-Ghazali, berakhlak mulia atau terpuji artinya “menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya”. Menurut Hamka, ada beberapa hal yang mendoorng seseorang untuk berbuat baik, di antaranya:
a. Karena bujukan atau ancaman dari manusia lain
b. Mengharap pujian, atau karena takut mendapat cela
c. Karena kebaikan dirinya (dorongan hati nurani)
d. Mengharap pahala dan surge
e. Mengharap pujian dan takut azab Allah
f. Mengharap keridhaan Allah semata
2. Pembagian Akhlak Terpuji Akhlak yang terpuji berarti sifat-sifat atau tingkah laku yang sesuai dengan norma-norma atau ajaran Islam.
Akhlak-akhlak baik (mahmudah) meliputi : ikhlas, sabar, syukur, khauf (takut kemurkaan Allah), Roja’ (mengharapkan keridhaan Allah), jujur, adil, amanah, tawadhu (merendahkan diri sesama muslim), bersyukur dan akhlak terpuji lainnya.
Akhlak Mazmumah
Selain menjaga akhlak mahmudah, seorang muslim juga harus menghindari akhlak mazmumah (akhlak tercela) yang meliputi: tergesa-gesa, riya (melakukan sesuatu dengan tujuan ingin menunjukkan kepada orang lain), dengki (hasad), takabbur (membesarkan diri), ujub (kagum dengan diri sendiri), bakhil, buruk sangka, tamak, pemarah dan akhlak tercela lainnya.
" PENTINGNYA MENJAGA HUBUNGAN BAIK KEPADA ALLAH DAN SESAMA”
A. Akhlak Kepada Allah
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.(2)
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya, Wa qul al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah"). Dalam Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93, secara tegas dinyatakan-Nya bahwa,
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan."
Makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah Swt. Itu sebabnya mereka --sebelum memuji-Nya-- bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan sampai pujian yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan kebesaran-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.[2]
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73): 9:
>§ É-Îô³yJø9$# É>ÌøópRùQ$#ur Iw tm»s9Î) wÎ) uqèd çnõϪB$$sù WxÏ.ur ÇÒÈ
(Dialah) Tuhan masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai wakil (pelindung).
Kata "wakil" bisa diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata tersebut pada hakikatnya terambil dari kata "wakkala-yuwakkilu" yang berarti mewakilkan. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di atas berarti menyerahkan segala persoalan kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu
kepada-Nya.
Allah Swt., yang kepada-Nya diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa, Maha Mengetahui, Mahabijaksana dan semua maha yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki keterbatasan pada segala hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun berbeda dengan perwakilan manusia.
Perbedaan kedua adalah dalam keterlibatan orang yang mewakilkan. Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu. Anda tidak perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang wakil. Ketika menjadikan Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Perintah bertawakal kepada Allah --atau perintah menjadikan-Nya sebagai wakil-- terulang dalam bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak sembilan kali, dan dalam bentuk jamak (tawakkalu) sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh
perintah melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat 61:
* bÎ)ur (#qßsuZy_ ÄNù=¡¡=Ï9 ôxuZô_$$sù $olm; ö@©.uqs?ur n?tã «!$# 4 ¼çm¯RÎ) uqèd ßìÏJ¡¡9$# ãLìÎ=yèø9$# ÇÏÊÈ
61. Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya dialah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.[3]
B. Akhlak Kepada Sesama Manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti hatinya itu.
* ×Aöqs% Ô$rã÷è¨B îotÏÿøótBur ×öyz `ÏiB 7ps%y|¹ !$ygãèt7÷Kt ]r& 3 ª!$#ur ;ÓÍ_xî ÒOÎ=ym ÇËÏÌÈ
“Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS al-Baqarah [2]: 263).
Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. –misalnya -- dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#þqãèsùös? öNä3s?ºuqô¹r& s-öqsù ÏNöq|¹ ÄcÓÉ<¨Y9$# wur (#rãygøgrB ¼çms9 ÉAöqs)ø9$$Î/ Ìôgyfx. öNà6ÅÒ÷èt/ CÙ÷èt7Ï9 br& xÝt7øtrB öNä3è=»yJôãr& óOçFRr&ur w tbrâßêô±s? ÇËÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. (QS al-Hujurât[49]:2).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi).
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=äzôs? $·?qãç/ uöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 crã©.xs? ÇËÐÈ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS an-Nûr [24]:27).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”. (QS al-Baqarah [2]:83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar”, (QS al-Ahzâb [33]:70).
Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah --seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a. -- menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS an-Nûr [24]: 22).
Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita) -- seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-Quran disebut al-muhsin.
C. Akhlak kepada alam (lingkungan)
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah.
Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab, sehingga ia tidak melakukan perusakan.
Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.
Jangankan dalam masa damai, dalam saat peperangan pun terdapat petunjuk al-Quran yang melarang melakukan penganiayaan. Jangankan terhadap manusia dan binatang, bahkan mencabut atau menebang pepohonan pun terlarang, kecuali kalau terpaksa, tetapi itu pun harus seizin Allah, dalam arti harus sejalan dengan tujuan-tujuan penciptaan dan demi kemaslahatan terbesar.
Sebelum Eropa mengenal Organisasi Pencinta Binatang, Nabi Muhammad Saw. telah mengajarkan, “Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik”.
Di samping prinsip kekhalifahan yang disebutkan di atas, masih ada lagi prinsip taskhîr, yang berarti penundukan. Namun dapat juga berarti "perendahan". Firman Allah yang menggunakan akar kata itu dalam al-Quran surat al-Hujurat ayat 11 adalah:
t¤yur /ä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) Îû Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 crã©3xÿtGt ÇÊÌÈ
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. (QS al-Jâtsiyah [45]:13).
Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak, Yogyakarta, LPPI UMI. 1999.
Djatnika, Rakhmat. Sistem Etika Islam (Akhlak Mulia), Jakarta, Pustaka Panjimas. 1992.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf, Jakarta, RajaGrafindo Persada. 2010
Syihab, Quraish. Wawasan Ai-Qur’an, Bandung, Mizan.
No comments:
Post a Comment